2. Profil Wirausaha


1. Biografi Bob Sadino - Pengusaha Sukses Dari Indonesia

Bob Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.


Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.

Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.

Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.

Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)

Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)
2. Ir Ciputra Pengusaha Sukses, Sebuah Inspirasi

Profil dan Otobiografi Singkat Ir. Ciputra

Ir. Ciputra (lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931; umur 77 tahun) adalah seorang insinyur dan pengusaha di Indonesia. Ciputra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di sebuah desa terpencil di pojokan Sulawesi Utara. Begitu jauhnya sehingga desa itu sudah nyaris berada di Sulawesi Tengah. Jauh dari Manado, jauh pula dari Palu. Sejak kecil Ciputra sudah merasakan kesulitan dan kepahitan hidup. Terutama saat bapaknya ditangkap dan diseret dihadapannya oleh pasukan tak dikenal, dituduh sebagai mata-mata Belanda/ Jepang dan tidak pernah kembali lagi (pada tahun 1944). Ketika remaja sekolah di SMP Frater Donbosco Manado.

Ketika tamat SMA, kira-kira saat dia berusia 17 tahun, dia meninggalkan desanya menuju Jawa, lambang kemajuan saat itu. Dia ingin memasuki perguruan tinggi di Jawa. Maka, masuklah dia ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Keputusan Ciputra untuk merantau ke Jawa tersebut merupakan salah satu momentum terpenting dalam hidupnya yang pada akhirnya menjadikan Ciputra orang sukses. Keputusan Ciputra untuk merantau ketika tamat SMA merupakan keputusan yang tepat, karena pada usia tersebut muncul adanya keinginan untuk bebas yang disertai rasa tanggung jawab pada diri individu. Ciputra adalah perantau yang sempurna. Dia mendapatkan kebebasan, tapi juga memunculkan rasa tanggung jawab pada dirinya.

Bagi Ciputra, perintis pengembang properti nasional sekaligus pembangun 20 kota satelit di seluruh Indonesia, pengalaman hidup susah sejak kecil adalah pemicu kesuksesannya. Ciputra yang lahir di Parigi, Sulawesi Tengah 77 tahun lalu, harus merasakan kerasnya hidup sejak usia 12 tahun, tanpa ayah. Sang ayah ditangkap tentara pendudukan Jepang dan akhirnya meninggal di penjara.

Sebagai bungsu dari 3 bersaudara, Ciputra kecil harus bergelut dengan berbagai pekerjaan untuk mencari uang membantu sang ibu yang berjualan kue. Ciputra yang mengaku sangat bandel dan nakal sejak kecil, juga harus berjalan kaki tanpa alas kaki sejauh 7 kilometer ke sekolah setiap hari. Kenakalan Ciputra terlihat dari sifatnya yang seenaknya sendiri. Saat disuruh belajar bahasa Belanda, Jepang atau China, dia malas. Dia hanya mau belajar bahasa yang dianggapnya akan berguna baginya, yaitu bahasa Indonesia. Akibatnya, saat usia 12 tahun dia masih di kelas 2 SD karena berkali-kali tinggal kelas.

Pasca ditinggal sang ayah, barulah Ciputra bangkit dan mau belajar giat hingga selalu menjadi nomor 1 di sekolah. Kegemilangan prestasi Ciputra terus berlanjut hingga mampu menamatkan kuliah di jurusan arsitektur ITB. Setelah lulus kuliah, jiwa wirausaha Ciputra mengantarkannya menjadi raksasa pengembang properti di tanah air lewat PT Pembangunan Jaya saat itu, dan akhirnya menjadi grup Ciputra. Dan hingga kini, berbagai bangunan properti yang menghiasi wajah Jakarta, tak bisa dilepaskan dari campur tangan seorang Ciputra.
3. Soedarpo Sastrosatomo


Pemilik perusahaan Samudera Indonesia, Pendiri Bank Niaga dan Pendiri Soedarpo Corporation Soedarpo Sastrosatomo, seorang pejuang revolusi, rekan seangkatan Muhammad Hatta. Pria kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, 30 Juni 1920, itu meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Senin 22 Oktober 2007, pukul 04.45, akibat usia lanjut.

Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Senin pukul 14.30 WIB (22/10/2007). Meninggalkan seorang istri, Minarsih Wiranatakoesoemah (84), dan tiga anak, yakni Shanti Poesposoecipto (59), Ratna Djuwita Tunggul (57), Chandra Leka Malimulia (55), serta enam cucu dan dua cicit.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ia adalah orang pertama yang dikirim Soekarno ke Amerika Serikat untuk urusan perdagangan. Pada masa perjuangan ia juga merupakan rekan seangkatan Muhammad Hatta. Soedarpo merupakan pemilik perusahaan Samudera Indonesia yang bergerak di bidang pelayaran, pendiri Bank Niaga, dan pendiri Soedarpo Corporation.

Di rumah duka para pelayat terus berdatangan, di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sebelumnya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. "Kita kehilangan seorang pejuang, pengusaha," kata Wapres.

Hari Kamis, 19 April 2007, Soedarpo duduk di kursi roda dengan alat bantu pendengaran. Penyempitan pembuluh darah di otak amat membatasi geraknya. Meskipun dengan penuh perhatian Soedarpo berusaha mengikuti perbincangan Kompas dengan sang istri, ia tak banyak berkata-kata.

Selama perbincangan, hanya dua pesan yang ia sampaikan, tentang "tugas" kehidupan yang sudah harus selesai bagi dirinya dan harapan yang ia titipkan bagi orang-orang muda.

"Kalaupun masih ada cita-cita, sekarang ini sudah harus saya lepaskan karena saya sakit dan penyakit ini, menurut saya, suatu peringatan bahwa sudah harus cukup semuanya ini bagi saya," ujarnya.

Melanjutkan ucapan itu, Soedarpo mengatakan, satu-satunya harapan yang ia inginkan terwujud adalah melihat anak-cucu dan generasi memberdayakan diri mereka untuk mengisi kemerdekaan dengan kemandirian berkarya.

"Kemerdekaan di negeri ini masih kemerdekaan administratif. Banyak urusan di negeri ini masih dikerjakan orang asing. Makanya, jangan gampang saja jadi pegawai negeri, kerjakan yang di luar itu. Isi kekosongan di masyarakat," tuturnya. (Kompas, 23 Oktober 2002)

Patut Jadi Teladan

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono, usai melakukan takziah di rumah duka almarhum Soedarpo Sastrosatomo mengatakan bahwa Soedarpo adalah pejuang dan mantan diplomat yang patut menjadi teladan bagi banyak orang.

Juwono ditemui di rumah duka Jalan Pegangsaan Barat Nomor 16, Jakarta Pusat, Senin, mengatakan bahwa sejak masih menjadi mahasiswa Soedarpo sudah terjun dalam perjuangan kemerdekaan khususnya dalam bidang bisnis.

"Revitalisasi perekonomian merupakan perannya bagi pembangunan, soal ekonomi modernisasi," ujarnya.

Soedarpo Sastrosatomo (87) meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta pada Senin, pukul 04.45 WIB, karena usia yang telah lanjut.

Pria kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, pada 30 Juni 1920 itu sebelumnya telah dirawat di RS Medistra sejak 15 Oktober. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pukul 14.30 WIB.

Menurut Juwono, peran yang tidak kalah penting dilakukan Soedarpo adalah masuknya pasal Keadilan Sosial dalam pidato Presiden Soekarno.

"Itu usulan beliau. Ia juga seorang aktivis sosial, ia juga berperan menyusun administrasi publik dan administrasi swasta," katanya.

Sementara itu di tempat yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, mengatakan bahwa Soedarpo merupakan salah satu kawan akrab dan seangkatan dengan ayahnya, Muhammad Hatta, semasa perjuangan revolusi.

"Sejak kecil saya sudah dekat dengan beliau. Soedarpo adalah pejuang di bidang bisnis, sekaligus berperan sebagai diplomat. Beliau adalah pejuang sezaman dengan Sutan Syahrir," katanya.

Menurut Meutia, pada 1947 Soedarpo ditunjuk sebagai diplomat di Washington DC dan kemudian di Indonesia merintis usaha nasional bidang perkapalan.

"Beliau mempunyai cita-cita memperkuat armada kelautan Indonesia sebagai negara maritim. Selain itu beliau mempunyai cita-cita mensejahterakan kehidupan rakyat," katanya.

Beberapa hal yang berkesan bagi Meutia adalah Soedarpo merupakan sosok yang memiliki pergaulan luas dengan pengusaha luar negeri, namun tidak meninggalkan ciri bangsa ini dalam pergaulan.

"Beliau tetap menjunjung tinggi budaya bangsa," demikian ujar Meutia.

Soedarpo meninggalkan seorang istri, Minarsih Wiranatakoesoemah (84), dan tiga anak yakni Shanti Poesposoecipto (59), Ratna Djuwita Tunggul (57), Chandra Leka Malimulia (55), serta enam cucu dan dua cicit.

Soedarpo adalah seorang pejuang, mantan diplomat, dan pengusaha sukses yang dikenal sebagai "Raja Kapal Indonesia", serta mantan atlet. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap sesama dan aktif dalam organisasi Rotary Indonesia. ►ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

=====

Rosihan Anwar
"In Memoriam" Soedarpo Sastrosatomo

Selama dua jam, saya di sisi ranjangnya di RS Medistra, Jumat (19/10/2007). Empat tahun ini kesehatannya turun-naik, penyakit orang tua, keluar masuk rawat inap, malah berobat ke Singapura dan Kuala Lumpur.

Lebaran lalu kena demam berdarah. Lelap-lelap ayam dia mengenal saya saat tiba. "He Tjian," katanya. Dia minta saya memijit-mijit ibu jari tangan kirinya, agar bisa tidur. Lalu bangun lagi dan berbicara tentang "rakyat yang kini susah hidupnya".

Menurut Benny yang menungguinya, dia bicara begitu. Pemimpin itu dari rakyat, bukan? Saat menjadi pemimpin sikapnya tidak peduli. Rakyat tak disejahterakan, tetap miskin. "Hei, mainin tangan saya," ujarnya. Ia minta saya memijit terus. Tiba-tiba dia sebut satu nama pemimpin "Belum mati dia?" Saat pamit saya bilang, "Kamu baik-baik saja, ya." Dia mengangguk.

Itulah pertemuan terakhir saya dengan Soedarpo Sastrosatomo. Ia meninggal pukul 04.45, Senin (22 Oktober 2007) dalam usia 87 tahun. Saya tahu, apa yang dipikirkan di saat-saat terakhir sebelum meninggal, soal nasib rakyat yang terus sengsara, soal daulat rakyat yang perlu terus ditegakkan, soal pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Itulah pikiran terakhir seorang sosialis, sebelum meninggal dunia.

Diplomat dan pengusaha

Siapakah Soedarpo? Jawabannya tergantung dari sudut pandang dan watak yang dipakai. Dia bisa dibilang pengusaha sukses, bergerak di bidang pelayaran dan perkapalan, dalam Samoedera Indonesia, yang kendati mengalami berbagai ganjalan dan saingan, benderanya tetap berkibar. Kegiatannya juga di bidang komputer dan teknologi informasi.

Dia juga diplomat dari saat-saat pertama Revolusi, bersama LN Palar, Dr Soemitro Djojohadikusumo, dan Soedjatmoko mengoperasikan perwakilan Indonesia di New York tahun 1948-1950 melawan politik Belanda yang mau mengembalikan penjajahan di Indonesia.

Dia kurir yang membawa pesan PM Sjahrir kepada Presiden Soekarno yang saat itu di Malang agar datang bersama Wapres Hatta ke perundingan di Linggarjati November 1946 untuk menunjukkan kepada internasional bahwa politik Sjahrir menghadapi Belanda, yaitu diplomasi dan perjuangan bersenjata dijalankan berbarengan, adalah didukung Soekarno-Hatta. Sekaligus menghilangkan pengecapan Belanda kepada Soekarno sebagai "kolaborator Jepang dan penjahat perang", menokohkan Soekarno sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Misi Soedarpo berhasil.

Dia aktivis yang gesit, bersama Soebadio Sastrosatomo dan Soedjatmoko disebut the Sjahrir boys, pemuda-pemuda yang membantu PM Sjahrir yang memimpin pemerintah 14 November 1945. Mereka bergerak di bidang politik dan penerangan untuk menangani aneka masalah. Mereka mampu memenuhi get things done. Ditugaskan jemput Bung Karno di Sukabumi supaya serah terima kabinet bisa dilaksanakan, beres. Ditugaskan menemui Sultan Hamengku Buwono IX agar mulai 4 Januari 1946 kota Yogyakarta jadi tempat kediaman Presiden dan Wapres RI, beres.

Semasa mahasiswa

Aspek karakter Soedarpo ialah Bertumbuh Melawan Arus yang merupakan judul biografinya. Ketika jadi mahasiswa kedokteran di Ika Dai Gaku zaman Jepang, kepala para mahasiswa digundulkan secara paksa. Sekelompok mahasiswa menentang. Akibatnya, mereka disekap Kenpeitai Jepang, lalu dikeluarkan dari sekolah kedokteran. Soedarpo, Soedjatmoko ada di antara mereka.

Tentu banyak hal lain dapat saya paparkan tentang Soedarpo. Pergaulannya luas. Orangnya luwes. Saat jadi pelajar sekolah menengah AMS Yogyakarta dia dikenal sebagai atlet wahid, kampiun lari loncat gawang. Dia dermawan mendukung berbagai usaha amal di masyarakat. Dia haji, dan tertib melakukan ibadah. Tidak heran bila setelah kabar wafatnya tersiar di radio dan di SMS, berbagai lapisan masyarakat datang, bertakziah di rumahnya, Pegangsaan Barat No 16. Sepertinya toute Jakarta datang melayat di rumah, tempat pada 28 Maret 1947 dia menikah dengan Minarsih Wiranatakusuma. Mereka sempat merayakan HUT perkawinan intan (ke-60) bersama ketiga putri, menantu, cucu, dan cicit.

Betapa banyaknya orang datang menyampaikan dukacita, tidak sedikit di antaranya sudah lanjut usia 80 tahun ke atas berkereta roda, bertongkat, yang oleh seorang hadirin dinamai "Golongan AA, alias Antre Ajal". Begitulah kenyataannya, kita semua akan kembali ke Ilahi.

Saya dengar setelah jenazah Soedarpo dimandikan, dikafankan, disemayamkan di ruang belakang, seorang ustadz yang memimpin upacara berkata dan bertanya kepada hadirin, kita saksikan jenazah H Soedarpo Sastrosatomo bin Sadeli Sastrosatomo adalah orang saleh dan baik, yang disambut hadirin serentak, "Baik, baik," dalam bahasa Arab Khair, khair. Berangkatlah sahabatku fi amanillah. (Kompas, 23 Oktober 2002)

Rosihan Anwar Wartawan Senior

****

SOEDARPO SASTROSATOMO


PDAT: Usia Darpo baru beranjak 30-an tahun ketika menjadi atase pers di Kedutaan Besar RI di Washington, 1950-1952. Tetapi karier diplomat itu ia lepaskan. Soedarpo Sastrosatomo kemudian dikenal sebagai pengusaha tangguh dengan julukan ''raja kapal'' Indonesia.

Semasih duduk di AMS (SMA) di Yogyakarta, putra Almarhum Sadeli Sastrosatomo, hooft mantri opium regie yang juga pernah menjadi aktivis Boedi Oetomo itu, ingin menjadi insinyur. Namun, belakangan, ia menganggap nilai pelajaran eksaktanya tidak memadai -- cuma tujuh. ''Meskipun dengan nilai itu saya sudah nomor satu di kelas. Mau saya, delapan atau sembilan,'' kata Darpo.

Lalu, dalam masa liburan besar, anak Jawa kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, ini pergi ke rumah kakaknya yang menjadi dokter di Majalengka, Jawa Barat. Darpo, yang masih meraba-raba akan masa depannya, segera terkesan akan profesi sang kakak yang dinilainya memiliki kebebasan tertentu. Maka, begitu lulus AMS, 1940, ia masuk fakultas kedokteran. Tetapi serbuan bala tentara Jepang ke Indonesia membuyarkan cita- citanya itu.

Dalam kunjungannya ke Majalengka, ia berkenalan dengan seorang pedagang keturunan India, Abdul Wahid, yang kebetulan pasien langganan kakaknya. Belakangan mereka bersahabat. Darpo, yang pada awal masa Kemerdekaan RI bekerja di Departemen Penerangan, menitipkan uang tabungannya kepada Wahid. Sepulangnya dari Amerika, jumlah uangnya sudah bertambah. Bersama uang simpanan lainnya, jumlah uangnya menjadi Rp 100 ribu. ''Itulah modal awal saya,'' kata Soedarpo yang memulai berusaha dengan mendirikan NVPD Soedarpo Corporation. Ia bergerak di bidang perdagangan kertas dan alat-alat perkantoran. Salah satu langganannya adalah surat kabar Pedoman.

Pada 1953, Soedarpo mendapat tawaran kerja sama dari Ishmian Lines, perusahaan pelayaran dan angkutan milik US Steel, AS, untuk mendirikan agen pelayaran di Indonesia. Maka, berdirilah PT International Shipping and Transport Agency (ISTA). Perusahaan ini berkembang pesat.

Pada 1956, seiring dengan dilarangnya orang asing mengusahakan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), ia membeli sebuah perusahaan EMKL milik Belanda, Stroo Hoeden Veem (SHV). Tahun-tahun berikutnya, pada saat gencar-gencarnya kampanye Manipol-Usdek, usaha Soedarpo menurun. Waktu itu, menurut dia, kegiatan usaha dikuasai negara, sedangkan ''swasta dianggap tidak ada''.

Baru 1963, dunia pelayaran mendapat angin kembali dengan lahirnya gagasan Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia bangsa bahari. Tahun berikutnya, Darpo mendirikan PT Samudera Indonesia (SI), dengan mengandalkan kapal-kapal sewa. Namun, kegiatan usaha di sekitar tahun 1965 semakin tidak menentu. Baru setelah Orde Baru berkuasa, SI berhasil memiliki 11 kapal -- lima di antaranya dijual kembali, karena menyewa kapal dianggapnya lebih murah dibandingkan jumlah yang harus dikeluarkannya untuk perbaikan dan perawatan.

Ia kini memimpin 21 perusahaan, pada 13 perusahaan di antaranya sebagai direktur utama. Dari semua perusahaan itu, Soedarpo mengaku lebih aktif di PT Samudera Indonesia dan NVPD Soedarpo Corporation itu. Namun, dalam masa resesi ini, usahanya di bidang farmasi paling kurang menerima pengaruh kelesuan ekonomi. ''Orang 'kan tidak bisa memilih kapan dia sakit,'' ujar Soedarpo. Di sektor ini, sampai Mei 1985, ia meraih omset Rp 1,6 milyar per bulan.

Istrinya, Minarsih Wiranatakusuma. Mereka dianugerahi tiga anak perempuan. Yang tertua, Shanti Lakminingsih, disiapkan untuk menempati kedudukan ayahnya. ''Semua anak saya perempuan, sedang cucu saya laki-laki. Bermain dengan mereka, membuat saya bahagia luar biasa,'' ujar pria pengagum tokoh wayang Bima itu. (pdat.co.id)


****

Jumat, 30 Maret 2001
Biografi Soedarpo Sastrosatomo Diluncurkan

Jakarta, Kompas
Telah terbit sebuah buku biografi yang selain mengungkap perjalanan hidup Soedarpo Sastrosatomo juga berisi kesaksian tentang Indonesia Merdeka. Banyak hal yang baru pertama kali ini diketahui terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan, baik melalui penuturan sang tokoh, saudara-saudaranya, maupun kawan-kawan seangkatannya. Ada bagian-bagian yang menunjukkan perbedaan pendapat adalah bagian dari demokrasi, misalnya bagaimana Bung Karno melayani diskusi dan perdebatan tentang sikapnya yang tunduk pada tekanan penguasa Jepang.

Buku yang ditulis oleh wartawan kawakan H Rosihan Anwar itu berjudul Soedarpo Sastrosatomo - Suatu Biografi 1920-2001 Bertumbuh Melawan Arus, diluncurkan Rabu (28/3) malam. Penerbitnya adalah Pusat Dokumentasi Guntur 49 yang dipimpin oleh Murdianto setelah Soebadio Sastrosatomo alias Kiyuk, wafat. 7 Desember 1998. Soebadio adalah kakak kandung Soedarpo (anak nomor enam) yang juga tangan kanan dan penyambung lidah pemikiran dan ucapan tokoh sosialis Sutan Sjahrir.

Soedarpo adalah seorang pejuang, mantan diplomat, pengusaha sukses yang dikenal sebagai "Raja Kapal Indonesia", mantan atlet, dan lain-lain. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap sesama dan aktif dalam organisasi Rotary Indonesia.

Acara peluncuran yang berlangsung penuh kemegahan itu mendapat perhatian undangan yang memenuhi ruangan yang sangat luas, dilaksanakan bertepatan dengan syukuran HUT ke-54 perkawinan Minarsih Wiranatakoesoemah (Mien) dengan Soedarpo. Bedah buku disampaikan oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan profesi tulis-menulis, yaitu Ramadhan KH dan Dr Ashadi Siregar, dipandu oleh wartawan senior Sabam Siagian.

Soedarpo Sastrosatomo dilahirkan tanggal 30 Juni 1920 di Pangkalansusu (Sumut), yang waktu itu merupakan pelabuhan Hindia Belanda untuk mengekspor minyak bumi. Pangkalansusu terletak di perbatasan dengan Aceh sehingga ia suka mengatakan "Aku anak Aceh". Ia anak ketujuh dari sembilan orang bersaudara buah perkawinan Mas Sadeli Sastrosatomo dengan Rd Ngt Sarminah. Kedua orangtuanya semula bermukim di Desa Jatinom dekat Klaten (Jateng) sebagai guru yang kemudian pindah ke Tanah Deli setelah berganti profesi menjadi ambtenaar Opiumregie (pegawai perusahaan yang memegang monopoli penjualan dan distribusi opium).

Bagaimana semangat seorang pejuang dan jiwa nasionalis melekat pada sikap dan perbuatan Soedarpo? Ketika ia masih bocah diajak oleh Soebadio menghadiri acara perpisahan di Taman Siswa Pada tanggal 31 Agustus (tahun tidak disebut-Red). Kawan-kawan Soebadio meminta Soedarpo menyanyi.

"Oleh karena hari itu bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, saya menyanyi Wilhelmus," ujar Soedarpo. Hadirin tersentak, mereka heran seorang bocah mampu mengumandangkan lagu berbahasa Belanda dengan fasih. Mereka bukan kagum melainkan gemas. Pasalnya, murid-murid Taman Siswa ditempa untuk menjadi nasionalis. Kumandang lagu kebangsaan merupakan sesuatu yang mengganggu, apalagi telah berkumandang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari saat itulah timbul semangat nasionalisme dalam diri Soedarpo, dan pada Jepang ia ikut memberontak. (iie)


4.. Adinindyah Terpikat Tenun
Pemenang III
Lomba Wanita Wirausaha BNI-Femina 2009
Ditangannya, kain tenun lurik menjadi produk yang indah, funsional, dan modern.

LULUSAN ARSITEKTUR INI melepaskan kariernya di bidang arsitek dan desain interior untuk terjun ke proyek pemberdayaan ramah lingkungan. Kepeduliannya pada nasib kain tenun tradisional Sumba, mengantar Adinindyah (36), atau yang akrab disapa Nindyah, pada sebuah pintu bisnis. Pilihannya jatuh pada kain tenun lurik, kain tradisional khas Yogyakarta, yang dulunya hanya diminati para buruh gendong, petani, atau abdi dalem. Bersama keempat temannya, ia mendirikan House of Lawe, tempat bahan lurik disulapnya menjadi berbagai produk fashion, tas, stationary, perlengkapan interior, hingga parsel.

BERAWAL DARI SUMBA
Kini, usaha yang ia dirikan sejak 2004, telah menjadi bisnis berlaba menggiurkan. Dalam setahun, usaha yang bermula dari modal patungan Rp5,3 juta, berhasil membukukan omzet Rp 420 juta setahun. Nindyah mengusung semangat memelihara dan memopulerkan tenun tradisional dari berbagai daerah serta mendukung pemberdayaan wanita. Itulah yang membuat para juri Lomba Wanita Wirausaha BNI-femina 2009 ini menobatkannya sebagai juara ketiga.

Ide bisnisnya ini berawal dari keaktifannya sebagai kerabat WWF sewaktu masih bekerja di sebuah kantor konsultan arsitektur dan interior di Yogyakarta. Ia hijrah ke Bogor untuk bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang dibiayai oleh Filipina. Pada pertengahan 2004, Nindyah ditugaskan ke Kepulauan Sumba, Nusa Tenggara Timur, untuk melakukan pemberdayaan pengembangan basil hutan non-kayu.

Ia bertugas memberikan pelatihan mengenai pewarnaan alami kepada para perajin tenun ikat Sumba yang ada di beberapa desa di Waingapu, Sumba Timur. Di sanalah ia jatuh hati pada keindahan kain tenun ikat Sumba. Sayangnya. peminat dari kain-kain tenun tersebut masih sangat terbatas. Hal ini membuat para perajin kesulitan memasarkan produknya.
"Padahal untuk membuat selembar tenun ikat, dibutuhkan waktu berbulan-bulan karena proses pengerjaan dilakukan menggunakan tangan dan alat tradisional serta bahan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan." jelasnya.

Tergerak untuk menyebarluaskan keindahan tenun tersebut, ia langsung membawa pulang belasan meter kain tenun tersebut ke Bogor. Dibantu keempat temannya: Mita, Ani, Rina dan Ita, ia pun mencoba mengubah kain-kain tersebut menjadi produk-produk baru yang atraktif, fungsional, dan modern. Untuk itu, ia segera mengirim semua kain-kain tersebut ke Yogyakarta "Kebetulan, di Yogyakarta, kawan saya,Ani, pandai membuat kerajinan tangan, seperti agenda dan boks-boks cantik," ujar Nindyah.

Dalam waktu kurang dari sebulan, produk-produk pesanannya berbahan baku kain tenun ikat Sumba selesai dibuat. Barang-barang itu langsung ia kirim kembali ke Waingapu, Sumba Barat. "Lewat cara itu, kami mencoba menunjukkan kepada mereka bahwa kain tenun ikat bisa dipasarkan dengan cara lain yang lebih menarik dan modern," ujarnya.

Beberapa bulan kemudian, Nindyah hijrah ke Yogyakarta untuk mengikuti suami bertugas. Di Kota Gudeg itulah Nindyah melirik kain tenun lurik, yang banyak dipasarkan di Yogyakarta dan Solo. Dengan dukungan keempat temannya, ia lantas mencoba mengolah kain tenun tersebut menjadi produk-produk yang lebih menarik. Sayangnya, ternyata tidak lagi mudah mendapatkan kain lurik yang dulunya pernah begitu melegenda.

Namun, ia tak patah semangat. Bersama Ani, ia berburu lurik ke berbagai pelosok desa di sekitar Yogyakarta untuk mencari perajin-perajin tenun lurik yang masih bertahan. "Salah satu perajin tenun yang berhasil kami temukan pertama kali adalah di Nanggulan, Kulonprogo," kenangnya. Dengan uang hasil patungan mereka berdua, mereka langsung memborong kain lurik yang ada. Kain-kain lurik tersebut langsung ia ubah menjadi agenda dan boks-boks yang variant', hasil inspirasi dari majalah atau internet. Ia juga membuat kreasi produk, mulai dari tas, sarung bantal, dan kantong HP.

"Setelah dapat inspirasi, saya corat-coret sendiri saja di kertas sampai dapat sketsa desain yang diinginkan," ujar lulusan Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada ini. Sketsa desain itulah yang kemudian ia konsultasikan dan diskusikan dengan si penjahit, untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk sebuah produk. Untuk urusan menjahit, Nindyah merekrut tetangga rumahnya yang memiliki keahlian itu.

SATU DALAM SEMINGGU
Stok produk pertamanya berupa selendang, stationary, tas, dan sarung bantal yang berjumlah 50 buah, langsung diborong oleh salah seorang kawannya. Kebetulan, kala itu ia hendak pergi ke Kepulauan Fiji, untuk menghadiri seminar. Di sana, semua ternyata sukses terjual. Hal ini makin menambah kepercayaan diri Nindyah untuk terus berproduksi. Meski masih dalam skala kecil, ia mulai banyak menerima pesanan teman-teman. Biasanya, untuk suvenir pernikahan maupun perlengkapan seminar. Promosi usahanya pun baru ia lakukan dari mulut ke mulut.

Tahun 2007, setelah memiliki cukup banyak stok barang dengan beragam variasi model, Nindyah pun memberanikan diri mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. "Sebenarnya, sejak tahun 2005 produk Lawe sudah ada di Inacraft.

Saya menitipkannya kepada salah seorang teman yang mengikuti pameran tersebut. Tetapi, hasilnya kurang menggembirakan. Dari ratusan barang yang saya titipkan, hanya laku tidak sampai 20 persen," kenangnya.

Ia tak menyerah, tetap rajin ikut pameran.Tak disangka, keikutsertaannya pada tahun 2007 akhirnya berhasil menuai sukses. Barang dagangannya nyaris, habis terjual. Ia juga banyak menerima pesanan barn. Kunci kesuksesan Lawe lainnya adalah keberanian Nindyah dalam berinovasi membuat motif-motif lurik dengan permainan warna yang lebih playful dan berani. Padahal, lurik umumnya identik dengan warna-warna gelap dan cenderung kusam.
"Warna-warna terang ternyata disukai anak-anak muda yang menjadi salah satu konsumen potensial Lawe. Warna cerah juga membuat lurik terlihat lebih modern. Makanya, setiap waktu saya juga rajin mengikuti tren warna yang sedang in," ujar Nindyah.

Kepiawaian Nindyah dalam membuat desain-desain produk yang cantik dan fungsional juga menjadi salah satu keunggulannya yang lain. Lihat saja bagaimana kain-kain lurik tersebut menjadi sebuah tas cantik, blus anggun, hingga bedcover modern.

"Dalam seminggu, saya menargetkan membuat sebuah desain produk baru untuk dilempar ke pasaran," ujarnya. Sejak keikutsertaannya di Inacraft 2007 itu pula, produk-produk Lawe --yang namanya diambil dari bahasa Jawa, yang berarti serat alam untuk bahan tenun-- pun makin banyak dikenal orang. Pada tahun itu pula, Nindyah langsung membuka showroom Lawe yang pertama di Amri Museum and Art Gallery, Yogyakarta. Ia juga mulai membangun website usaha. Diakuinya, keberadaan website berperan besar dalam memopulerkan produk-produk karyanya ke seluruh Indonesia.

Kini pelanggannya sudah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit pembeli dari luar negeri yang datang ke kantornya untuk membeli produk-produk Lawe dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual kembali. "Salah satu pelanggan rutin saya adalah seorang wanita dari Australia.Tiga bulan sekali ia datang ke workshop untuk membeli produk-produk Lawe terbaru," ujarnya.

MENCARI PESAING
Seiring pasar yang berkembang, Lawe pun membesar. Dari yang awalnya hanya mempekerjakan seorang penjahit freelance di dekat rumahnya, kiln di workshop-nya sudah ada tujuh pekerja yang siap membantunya menjalankan roda bisnis. Jumlah tersebut belum termasuk puluhan perajin tenun dan penjahit yang tersebar di seluruh kawasan Yogyakarta yang rutin mengerjakan pesanannya. Nindyah memang sengaja tidak mengumpulkan semua pekerjanya (hampir semuanya wanita), di dalam sebuah workshop.

Selain menghemat biaya, cara ini juga dipilihnya sebagai jalan untuk memberdayakan wanita-wanita di daerahnya, agar bisa memiliki penghasilan namun tetap bisa membagi waktunya untuk suami dan anak-anak di rumah. Secara berkala, perajin-perajin tersebut akan mengambil bahan baku ke workshop Lawe, untuk dikeijakan di rumah. Pada waktu yang sudah ditentukan, hasil jahitannya dibawa kembali ke workshop Lawe. Bagi perajin yang lokasi rumahnya jauh, Nindyah tak segan mengantar bahan baku ke rumah perajin.

Tak hanya merekrut orang-orang yang sudah berpengalaman, Nindyah juga tak segan menerima orang-orang yang berniat untuk belajar. Untuk menjamin kesejahteraan para pekerja yang tergabung di workshop Lawe, Nindyah sengaja membangun usahanya dalam bentuk koperasi, di mana ia bertindak sebagai ketuanya. Nindyah tidak sepenuhnya menjadi pemilik tunggal Lawe karena semua pekerjanya juga memiliki kontribusi saham di dalamnya. Sehingga, keuntungan yang diperoleh dibagi secara adil kepada semua pemilik saham. "Sistem ini efektif untuk menumbuhkan rasa memiliki dari para pekerja sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan roda bisnis House of Lawe," lanjut Nindyah

Program lain yang dijalankan Nindyah adalah sisterhood. Ia mengajak para wanita Indonesia yang memiliki kain tenun tradisional di daerahnya untuk bekerja sama mengolah kain-kain terse- but menjadi produk yang lebih fungsional dan bernilai jual.

Selain memberi pelatihan produksi, pihaknya juga tak pelit memberi arahan untuk pemasaran produk. "Sejauh ini beberapa tenun daerah yang sudah kami garap adalah Sumba Barat, Lombok, Bali, dan Pontianak. Karenanya, ia berharap dalam beberapa tahun ke depan akan makin banyak pihak yang bergabung dalam program mereka tersebut. Tidak takutkah jadi banyak saingan? "Justru itu yang saya inginkan. Biar Lawe tidak sendirian," tuturnya.

KOMENTAR
DELIA MURWIHARTINI, PENGUSAHA, EKSPORTIR TAS THE SAK & DOWA BAG
PELUANG MENEMBUS PASAR EKSPOR

Memilih jenis material produk yang tidak umum dan memiliki identitas serta ciri khas yang kuat, dalam hal ini kain lurik, peluang Adinindyah bermain di pasar internasional sebenarnya cukup besar. Namun, terlebih dahulu, melakukan riset pasar untuk mengetahui selera masyarakat luar negeri yang hendak dituju.

Perlu diingat apa yang dianggap bagus oleh pasar lokal, belum tentu dinilai sama oleh pasar luar negeri. Karena, kualitas produk dan desain yang menarik menjadi faktor penting yang diagungkan oleh pasar asing, khususnya Eropa dan Amerika. lbaratnya. produk yang dihasilkan tidak boleh ada cacat sedikit pun.
Adinindyah hendaknya tidak pernah berhenti berinovasi menghasilkan produk-produk baru yang lebih balk dan berkualitas. Juga pandai menyesuaikan did dengan perkembangan mode di luar negeri yang berjalan sangat cepat.

Caranya, dengan rajin membuka majalah fashion luar negeri atau menonton channel- channel fashion asing di televisi. Selain murah, cara tersebut efektif menangkap tren-tren mode yang berlangsung.
Untuk memperkenalkan produknya ke pasar luar negeri, Adinindyah bisa mulai mencoba mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Biaya yang harus dikeluarkan memang cukup tinggi. Namun, dengan pemilihan jenis pameran yang tepat, cara ini cukup ampuh menjaring pembeli. Cara lain yang lebih murah adalah memasukkan produknya ke jaringan pusat perbelanjaan internasional yang kini banyak terdapat di Jakarta.
Adinindyah juga perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman seputar tata niaga perdagangan di luar negeri. Hal ini salah satunya bisa ia peroleh dengan belajar kepada pengusaha-pengusaha senior yang sudah berpengalaman. Jangan sampai, ia menjadi korban penipuan oknum-oknum pengusaha di luar negeri.

la diharapkan bisa segera merencanakan langkah memperkuat sistem produksinya agar slap memenuhi permintaan produk dalam jumlah besar. Dengan sistem produksi menggunakan tenaga kerja outsourcing yang dijalankan Lawe, hal ini sebenarnya cukup riskan terjadi penjiplakan desain. Karena itu, Adinindyah perlu komunikasi yang balk kepada seluruh pekerjanya agar produk-yang ia hasilkan tetap memiliki nilai eksklusivitas tinggi.

Hal yang penting, Adinindyah harus berpikir dan bertindak fokus dan konsisten. Fokus, agar bisa mengembangkan desain dan meningkatkan kualitas produk dengan maksimal. Konsisten, sehingga semakin mendapatkan pelajaran baru yang bermanfaat dalam proses perjalanannya menuju tangga kesuksesan berikutnya.



5.  PROFIL SEORANG WIRAUSAHAWAN

oleh : nurul noviani

07301244093


Bapak Danang Priyadi adalah sososk wirausahawan yang ulet dan pantang menyerah untuk memulai sebuah usaha baru. Walaupun dalam kegiatan kewirausahaannya mengalami pasang surut tetapi beliau tetap berusaha bertahan walaupun dengan keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, kami akan menampilkan profil beliau dan sedikit mengutarakan kisah beliau dalam menjalankan usahanya.

Bapak Danang Priyadi adalah seorang pedagang ayam potong di Pasar Induk Giwangan. Beliau memulai usahanya pada tahun 2001, di mana pada saat itu sebelum diadakan relokasi pasar induk, beliau berdagang di pasar Shopping. Saat ini, beliau telah memulai usaha barunya yaitu tempat pemotongan ayam Murakabi dan Cattering Rina. Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan beliau :

Kru : Bagaimana awal perjalanan Bapak sebagai seorang wirausahawan dan awal mulanya merintis usaha berdagang ayam?

Bapak Danang : Pada Awal mulanya, setelah tamat SMA, saya tidak bisa melanjutkan studi ke bangku kuliah karena keterbatasan biaya. Akhirnya karena bingung mencari kerja di mana-mana, saya kemudian memulai usaha berdagang ayam potong. Ide berdagang ayam potong muncul karena dulu orang tua saya juga berdagang daging ayam potong jadi saya mempunyai modal ilmu dari orang tua saya dan kemudian orang tua saya mengenalkan beberapa supplier ayam-ayam potong yang ada di daerah saya.

Pada awal usaha, modal yang saya peroleh didapatkan dari hutang di bank sebesar Rp 500.000,00. Modal ini saya manfaatkan untuk membeli ayam potong dan membuka stand kecil di Pasar Shopping (dulu, orang tua saya juga berdagang di pasar tersebut). Sistem berdagang yang dianut supplier ayam potong mitra kerja saya sangat memudahkan saya untuk berdagang karena kita bisa melakukan pembayarannya setelah daging-daging ayam potong itu terjual.

Kemudian karena semakin lama saya mempunyai banyak pelanggan, akhirnya saya bisa memperbesar stand di pasar dan menambah stok daging ayam potong yang saya jual dan hasil pendapatan yan gsaya peroleh dapat digunakan untuk melunasi hutang di bank dan turut membantu biaya pendidikan adik-adik karena saya adalah anak tertua dari 3 bersaudara.

Kru : Apakah Bapak pernah mengalami masa-masa sulit yang menyangkut kesuksesan dan Kemerosotan usaha Bapak? Apakah suka-dukanya menjalankan usaha ini?

Bapak Danang : Setiap pedagang pasti pernah mengalami pasang surut dalam usahanya. Pada awalnya saya memulai berdagang, saya bersepeda dengan membawa barang dagangan ke pasar shopping. Saya harus berangkat pagi-pagi setelah shubuh dengan bersepeda kurang lebih satu jam. Karena masih pedagang baru, pada awalnya hanya sedikit pembeli tetapi lama kelamaan pelanggan saya menajdi lebih banyak. Prinsip saya adalah berusaha beramah tamah dengan setiap pembeli dan selalu tersenyum.

Saya memulai usaha pada tahun 2001, setahun setelahnya saya bisa membeli sepeda motor bekas untuk saya berdagang dan sebagai pengganti sepeda. Hingga tahun 2005 saya berdagang di Pasar Shopping, kemudian diadakan relokasi pasar sehingga sekarang pindah di Pasar Induk Giwangan. Di pasar induk, kegiatan perdagangan sedikit lesu karena letaknya pasar yang kurang strategis sehingga beberapa pelanggan saya yang kebanyakan orang kota tidak lagi membeli di tempat saya dan lebih memilih pasar-pasar kecil yang dekat rumah. Oleh karenanya saya memikirkan usaha sampingan untuk menambah penghasilan yaitu dengan membuka tempat pemotongan ayam dan bersama istri, saya membuka cattering, menerima pesanan ayam, baik berupa daging mentah ataupun dalam bentuk olahan, seperti ayam goreng,ayam bakar, sate, dll.

Kru : Kalau boleh kami tahu, berapakah modal dan penghasilan bapak tiap bulannya? Bagaimanakah rencana ke depannya bapak dalam mengembangkan usaha ini?

Bapak Danang : Kalau dihitung secara rinci, saya tidak tahu persis penghasilan dari usaha ini, tetapi kalau dikira-kira saya bisa mendapat minimal 2 juta per bulan dan mungkin bisa lebih banyak lagi apabila ada pesanan-pesanan. Pengahsilan itu digunakan untuk modal berdagang kembali, mencukupi kebutuhan keluarga, dan melunasi cicilan hutang di bank.

Alhamdulillah dari penghasilan itu, saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan dapat digunakan untuk keperluan yang lain juga. Baru-baru saja, saya hutang 15 juta dari bank untuk memulai usaha pemotongan ayam, jadi saya bisa melayani pembeli yang membutuhkan ayam baik dalam partai kecil dan besar. Istri saya juga turut membuka usaha cattering dan menerima pesanan olahan daging ayam dalam berbagai macam masakan.

Kru : Terima kasih atas beberapa info yang bapak berikan kepada kami dan apakah nasehat dari bapak kepada kaum muda yang ingin menajdi usahawan?

Bapak Danang : Sama-sama, saya juga senang menceritakan pengalaman hidup saya, semoga bisa bermanfaat.

Bagi para usahawan muda, sebaiknya melihat dulu pasaran, apakah usaha yang cocok sekarang ini dan prospektif dengan modal kecil dan mudah dijalankan. Berusaha dengan tekun dan pantang menyerah serta selalu berpikir kreatif.

Demikianlah hasil wawancara yang kami lakukan dengan nara sumber Bapak Danang Priyadi, seorang pedagang ayam potong di Pasar Induk Giwangan dan pemilik rumah ayam potong Murakabi serta Cattering Rina.

Ilmu yang dapat kita peroleh dari Bapak Danang adalah bahwa jika ingin memulai sebuah usaha berpikirlah bahwa kita melakukannya dengan segenap hati dan berusaha menyenangkan konsumen. Hindarilah menuntut laba yang banyak dan tidak mudah pantang menyerah apabila mengalami kegagalan.